Selasa, 15 Januari 2013

Jelang 2014, BKM/LKM Belum Urgen “Dibadanhukumkan”

Jakarta, 16 Januari 2013

Oleh:
Tomy Risqi Sub Specialist Community Organization
KMP Wil. II
PNPM Mandiri Perkotaan   .

Menyoal Legitimasi Yuridis BKM
Menjelang berakhirnya PNPM Mandiri Perkotaan pada tahun 2014, BKM/LKM belum terlalu urgen untuk dibadanhukumkan. Legitimasi sosial yang dipercayakan oleh masyarakat kepadanya sudah cukup membuatnya tangguh sebagai lembaga yang terpercaya (board of trustee). Terbukti telah banyak kerjasama, peningkatan kapasitas, dan jaringan yang telah dibangun oleh BKM/LKM. Justru KSM-KSM lah yang mesti diperkuat kelembagaannya. BKM/LKM cukup menjadi inkubator bagi para pengusaha kecil miskin modal. Kendatipun perlu diwaspadai bahwa posisi BKM/LKM yang tak berstatus hukum suatu saat berpotensi menyulitkan pergerakannya. Demikian antara lain pewacanaan yang mengemuka pada KBIK Kelembagaan yang digelar di Ruang Rapat KMP PNPM Mandiri Perkotaan Wilayah II, di Jalan Danau Toba, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada Rabu, 9 Januari 2013.
Sejauh ini, sekira 10.923 BKM/LKM di seluruh Indonesia hanya dicatatkan di notaris dengan beragam penamaan, seperti perhimpunan, perkumpulan, paguyuban maupun lembaga. Pencatatan tersebut mampu menunjang BKM/LKM leluasa berkiprah dalam pembangunan, utamanya penanggulangan kemiskinan. Sejumlah mitra berhasil digaet, integrasi dengan Musrenbang ditembus, dan program-program pembangunan daerah tak terlewat dari penetrasi BKM/LKM. Jika benar demikian, maka PNPM Perkotaan sebenarnya telah merintis peta jalan (road map) pelembagaan masyarakat. Perjalanan masih akan diteruskan hingga benar-benar terjadi pelembagaan, mengingat sejak awal di benak para penggagas tidak pernah terbersit untuk berhenti sebatas membangun organisasi.
Mengutip Norman Uphoff (1986), Specialist Community Organization and Social Activity KMP 2 Dikdik Herdiana dalam paparannya membedakan antara organisasi dengan lembaga. “Organisasi adalah struktur peran yang telah dikenal dan diterima. Sementara kelembagaan atau lembaga adalah serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan atau digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan atau maksud kolektif yang bernilai sosial,” tutur dia.
Tidak semua organisasi dapat disebut sebagai lembaga dan tidak semua lembaga dapat dikukuhkan aktivitasnya ke dalam organisasi. Ilustrasi berikut memperjelasnya:
Suatu organisasi suatu saat dapat saja menjadi lembaga bahkan “kelembagaan”, jika fungsi dan peran organisasi tersebut dalam kaitannya dengan kepentingan warga diakui sebagai norma dan perilaku bersama. Meski disadari menuju ke arah sana membutuhkan waktu, dan oleh karenanya juga membutuhkan proses-proses pelembagaan (institutionalizing).
Team Leader KMP Sunaryanto, yang juga termasuk salah satu “think tank” PNPM Mandiri Perkotaan, tahun 1999, menguraikan bahwa dalam pembangunan manusia diperlukan institutional building yang diamanahkan implementasinya kepada BKM. Namun, BKM/LKM harus dilihat secara kelembagaan, bukan sebagai lembaga saja. Visi P2KP (nama PNPM Perkotaan waktu itu) adalah membangun manusia sebagai pintu masuk untuk membangun masyarakat. Manusia dibangun nilainya, masyarakat dibangun prinsipnya. Wadah tempat mentransformasi nilai-nilai manusia menjadi prinsip-prinsip universal kemasyarakatan itulah BKM/LKM.
“Namun sekarang, kita sekarang tidak bisa lagi membangun institusional building dengan gaya pengelolaan sosial karena aset yang dikelola oleh BKM sudah mencapai Rp8 trilliun. Ini sebuah nilai yang luar biasa. Jadi BKM bukan sedang mengelola kelembagaan sosial, melainkan berperan sebagai lembaga profesional yang membutuhkan payung dan badan hukum,” kata Sunaryanto, seraya menyarankan ambang batas dana yang boleh diterima oleh BKM untuk diatur dalam sebuat peraturan.
Usulan menarik muncul dari Revolving fund Specialist Kusnan Effendi. Menurut pengalamannya setelah terlibat dalam sejumlah forum diskusi stakeholder Pusat, sebaiknya status hukum hanya diberikan kepada perangkat organik BKM/LKM, yaitu Unit-unit Pengelola (UP). Seandainya badan hukum menjadi pilihan, maka keberadaan Direksi dan Badan Pengawas di dalam UPK mutlak diperlukan. Hal ini selaras dengan keinginan Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) agar KSM-KSM berbadan hukum. Jadi bukan BKM-nya. “BKM dan UP sebagai inkubator saja, sehingga KSM-KSM memiliki kekuatan hukum untuk mengembangkan usaha dengan status hukumnya tersebut,” tegasnya.
Mendukung Kusnan, Sub specialist Manajemen Keuangan Ngurah Durya memandang bahwa badan Hukum itu berfungsi sebagai alat pemersatu. Dari perspectif untung rugi, hanya ada tiga pilihan status hukum. “Jika memilih PT, para pemegang sahamlah yang menanggung kerugian apabila organisasi merugi. Jika memilih Koperasi maka seluruh anggotalah yang bertanggung jawab. Dan, jika memilih Yayasan maka pengurus, yang notabene para pendirilah, yang bertanggung jawab,” kata dia.
BKM pernah berada di antara pilihan-pilihan sulit tersebut.
KBIK Kelembagaan diikuti oleh seluruh Specialist (TA) dan sejumlah Sub TA KMP PNPM Mandiri Perkotaan Wilayah 2
Di luar pilihan status hukum, Ifan (Monev) mengingatkan untuk tidak melupakan tujuan menyejahterakan rakyat miskin. Untuk mencapainya tidak mungkin meninggalkan nilai dan prinsip. Namun, benarkah telah teruji bahwa fakta pengelolaan kredit oleh BKM menjadikan manusia menjadi lebih terbangun nilainya? Di seluruh kelurahan, BKM telah menjadi ikon pengentas kemiskinan, oleh sebab itu harus diperlancar jalannya dengan mengembangkan organisasi.
Tidak semua setuju bahwa status hukum BKM akan mempermudah BKM mengembangkan aktivitasnya. Financial Management SpecialistSusilawati Muslimah, mewakili sebagian peserta yang kurang sreg memilih cenderung membiarkan BKM untuk tidak perlu dipayungi, baik oleh peraturan-peraturan seperti SK Walikota ataupun Peraturan Daerah (Perda). “Kita tidak sedang mempersoalkan akan membuat PT, yayasan atau yang lain. Kembalikan kepada masyarakatnya. Jika BKM itu milik orang miskin maka pemegang sahamnya adalah orang miskin. Di tangan merekalah status hukum diserahkan,” katanya.
Lebih lanjut, Susi menyarankan agar mengatur segala sesuatu di dalam petunjuk yang jelas. “Jangan sampai, setelah diperdakan atau di-SK Bupati/Wali Kota-kan malah membuat BKM tidak lagi bebas. Civil society yang dulu kita bangun jadi mustahil untuk dijalankan, sebab kelahiran BKM dimulai dari definisi, bukan berasal dari lembaga pemerintah, bukan lembaga militer, bukan lembaga swasta dan bukan lembaga agama. Di era sekarang ini fokuskan saja pada kearifan lokal untuk memperkuat lembaga BKM,” tutur dia.
Pendapat Susi patut didengar, sebab pemberian status hukum yang tergesa-gesa dapat merancukan fungsi BKM sebagai Organisasi Masyarakat Warga. Pemberian status hukum kepada BKM laiknya memberikan predikat agar BKM makin dipercaya berhubungan dengan berbagai pihak. Namun harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar pembangunan kelembagaan BKM yang gagal di sana-sini pada sejumlah aspek tidak terulang akibat terlalu terfokus pada labelisasi BKM.
Sub specialist Monev Yunan Isnainy dan Mass Communication Specialist Iroh Rohayati Fatah merekomendasikan penyelenggaraan Lokakarya besar kelembagaan, yang memberi kesempatan semua pihak untuk mengklarifikasi kesalahan rekayasa sosial pendampingan dan meminta masukan dari berbagai pihak untuk memperbaikinya. Lokakarya tersebut dapat dianggap sebagai forum islah agar tidak ada lagi kebingungan mengenai pelembagaan BKM pascapendampingan konsultan.
Di sisi lain, Neigborhood Development Specialist Maizil Jalaluddin sepakat dengan penekanan pada isu pelembagaan dan status hukum. Sebab, katanya, pada aspek kelembagaan seringkali BKM tidak mampu menjaga keseimbangan peran. Contohnya, BKM Temas Kota Batu, yang sulit menjaga keseimbangan kemajuan. Di sana terjadi ketimpangan dimana bidang ekonomi jauh lebih maju melampaui bidang infrastruktur dan sosial. Terbukti dengan sudah dibangun cottage-cottage di kawasan prioritas PLPBK. Warga miskin diberi kesempatan untuk mengelola cottage tersebut sebagai lokasi wisata. Unit usaha ekonomipun berkembang pesat di tengah kompetisi yang cukup tinggi antarKSM. Seharusnya UPK memediasi penyelesaian persaingan antarKSM-KSM yang sedang berkompetisi, mengelola pertumbuhan ekonomi desa dan mulai harus bergeser memikirkan pengembangan ekonomi desa.
Landasan Yuridis dan Masa Depan BKM/LKM
Ramainya isu pelembagaan dan status hukum BKM hendaknya tidak terlepas dari riuhnya konstelasi politik di luaran sana. Pemerintah akhir-akhir ini berusaha menertibkan sejumlah organisasi fundamentalis radikal yang mengatasnamakan agama dengan mengajukan RUU Organisasi Masyarakat (Ormas). Namun Pasal 7 ayat (2) dalam RUU Ormas tersebut mendefinisikan Ormas sangat luas. Segala organisasi yang bersifat nirlaba masuk kategori Ormas, mulai dari organisasi berdasarkan minat olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dan lain-lain), hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan sebagainya.
Seluruh organisasi ini nantinya akan diawasi oleh Kementrian Dalam Negeri, yang diusulkan sebagai institusi pengawas keberadaan berbagai ormas tersebut. Kekhawatirannya adalah bagaimana jika BKM dikualifikasikan ke sini. Adakah perbedaan perlakuan terhadapnya? Ormas adalah singkatan dari Organisasi Kemasyarakatan (bukan organisasi massa), dilahirkan oleh UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perlu dipahami bahwa Ormas bukanlah badan hukum, melainkan hanya status terdaftar berdasarkan Surat Keterangan Terdaftar yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kemendagri. 
Menurut Sub Specialist CO and S Tomy Risqi, bentuk “Ormas” sesungguhnya tidak jelas posisinya di dalam kerangka hukum nasional, karena dulu kelahirannya digunakan untuk mengontrol kebebasan berorganisasi. Dari kerangka hukum sesungguhnya, pengaturan organisasi sosial di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: (1) Non-Membership Organization atau organisasi tanpa anggota, dan (2) Membership Based Organization atau organisasi berdasarkan keanggotaan.
Untuk organisasi tanpa anggota, hukum Indonesia telah mengatur melalui UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Sementara, untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia masih menggunakan produk colonial staatblad- Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen). Jika dirunut ke periode saat ini, LKM/BKM sebagai organisasi kemasyarakatan dikualifikasikan sebagai perkumpulan berbadan hukum ini oleh seluruh notaris di Indonesia yang mencatatnya.
Kebijakan PNPM Mandiri
Mengapa status hukum BKM/LKM ini tiba-tiba kembali marak dibicarakan? Seperti diketahui, perumusan kelanjutan Peta Jalan PNPM Mandiri terakhir kali dibahas dalam Temu Nasional PNPM Mandiri tanggal 4-5 Desember 2012 sebagai kelanjutan dari rangkaian pembahasan sebelumnya.
Salah satu Pilar kebijakan PNPM Mandiri yang difasilitasi oleh Kementrian Kesejahteraan Rakyat adalah merumuskan dasar hukum bagi eksistensi lembaga pemberdayaan masyarakat, setidaknya menyangkut tiga hal (baca: Pilar Ketiga: Penguatan Kelembagaan Masyarakat), yaitu:
Pertama, pilihan bentuk badan hukum bagi lembaga pemberdayaan masyarakat bentukan PNPM Mandiri yang melembaga di masyarakat (BKM, UPK, BKAD, MAD, dan sejenisnya); Mengenai pilihan bentuk lembaga, ada dua paham dalam hal ini. Pendapat pertama, menyatakan yang diperlukan ialah payung hukum atau legalitas bagi kegiatan pemberdayaan dan pelayanan tersebut (misalnya berupa SK Bupati/Wali kota), dan yang kedua, yang berpendapat perlu bentuk badan hukum. Untuk yang kedua ini, perlu dilakukan kajian agar dapat memperoleh opsi bentuk badan hukum yang bisa ditawarkan sebagai pilihan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat. Opsi bentuk badan hukum tersebut harus sesuai atau mengakomodasi budaya dan karakter setempat, serta sesuai aspirasi masyarakat. Kebijakan tersebut akan menjadi landasan hukum bagi peningkatan peran dan keberadaan lembaga yang difasilitasi PNPM Mandiri (Perkotaan maupun Perdesaan) sebagai lembaga yang mengelola kegiatan pemberdayaan masyarakat, pelayanan sosial, dan pelayanan bagi kegiatan keuangan dan pendampingan usaha. 
Kedua, status kepemilikan aset-aset yang dimiliki masyarakat (dana, sarana/prasarana, kelembagaan); Beresnya status hukum akan menyelesaikan sebagian pekerjaan rumah PNPM Mandiri mengenai kepemilikan—artinya, pengawasan dan pendayagunaan—aset-aset UPK BKM. Kesra risau, jangan sampai pasca2014 program dilanjutkan oleh Pemda dan masyarakat, tapi aset-aset tersebut tidak jelas kepemilikannya, sehingga berpotensi dikuasai individu tertentu (elite capture), tidak tercatat, dan tidak terkontrol, yang akhirnya menyulitkan lembaga pemberdayaan masyarakat dan Pemda menjaga keberlanjutannya.
Ketiga, status hukum penyelenggaraan penjaman dana bergulir. Diperlukannya kebijakan yang memayungi penyelenggaraan (operasional) pelayanan pinjaman dana bergulir agar mempunyai dasar hukum, sehingga tidak dianggap sebagai operasi peminjaman dana yang tidak sah atau ilegal (dianggap bank gelap atau rentenir).
Keempat, dengan status hukum yang jelas, maka fungsi dan pemanfaatan lembaga masyarakat untuk program-program pemerintah di masa yang akan datang dapat berjalan dengan baik, dimana prinsip-prinsip partisipatif, transparansi dan akuntabilitas akan terjaga. 
Rekomendasi
Institusionalisasi BKM sebagai inkubator yang menumbuhkan jiwa-jiwa entrepreneurship KSM sudah saatnya diformulasikan sebagai step berikutnya, menyambung ide awal BKM/LKM yang dulunya diarahkan untuk mentransformasi nilai humanisme menjadi prinsip kemasyarakatan yang lebih universal.
Dalam Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society), prinsip-prinsip tersebut selaras dan menjadi bagian penting good governance—pengelolaan semua urusan pembangunan dengan baik secara berimbang oleh negara, masyarakat dan dunia usaha.
Akhirnya, KBIK ini ditutup dengan dua rekomendasi penting, yaitu: satu, membangun kelembagaan dalam konteks membangun nilai dan norma untuk penanggulangan kemiskinan, membutuhkan organisasi demi memelihara norma dan nilai agar kearifan lokal tidak tercerabut dari akarnya. Dua, penyelenggaraan lokakarya maupun forum tindak lanjut KBIK akan segera direalisasikan, dengan melibatkan para pelaku sejarah, pihak-pihak yang berkompeten, konseptor dan Tim Research and Development (R&D) sebelum dibahas lebih lanjut mengenai urgensi Anggaran Dasar. KBIK berikutnya akan menggagas soal ini. [KMP-2]
Editor: Nina Firstavina

0 komentar:

Posting Komentar